Kamis, 10 Desember 2015

tokoh filsafat Ar-Razi



 Al-Razi
1.      Sejarah lahir
Nama lengkap al-razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. Dalam wacana keilmuan barat, beliau dikenal dengan sebutan Razhes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhoges, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 H/865 M. Perlu diingat bahwasanya tempat yang ia tinggali yakni Iran ,yang sebelumnya terkenal dengan sebutan Persia, merupakan tempat dimana terjadinya pertemuan berbagai kebudayaan terutama kebudayaan Yunani dan Persia. Dengan suasana seperti lingkungan seperti ini mendorong bakat Al-Razi tampil sebagai seorang intelektual.
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggil al-razi, yakni Abu Hatim Al-Razi dan Najmun Al-Razi. Oleh karena itu, untuk membedakan Al-Razi dengan yang lainnya, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).
Beliau pernah menjadi tukang intan pada mudanya, penukar uang, dan pemain kecapi. Lalu beliau memusatkan perhatiannya pada ilmu kimia dan meninggalkannya akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya yang menyebabkan mata terserang penyakit. Setelah itu, beliau mendalami ilmu kedokterang dan filsafat yang ada pada masa itu.
Ayahnya berharap Al-razi menjadi seorang pedagang besar, maka dari itu ayahnya membekali Al-razi ilmu-ilmu perdagangan. Akan tetapi, Al-Razi lebih memilih kepada bidang intelektual ketimbang dengan perdagangan karena menurutnya bidang intelektual merupakan perkara yang lebih besar ketimbang urusan dengan materi belaka.
Karena ketekunannya dalam bidang kedoteran dan filsafat, Al-Razi menjadi terkenal sebagai dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, oleh karena tiu dia sering memberi pengobata cuma-Cuma kepada orang miskin. Dan karena reputasinya dalam kedokteran, dia pernah mejabat sebagai kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian dia berpindak ke Baghdad dan memimpin rumah saki di sana pada masa pemerintahan Khlifah Al-Muktafi. Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya, kemudian id berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.
2.      Karyanya
Mengenai karyanya, tentu berkaitan dengan siapa dia belajar, dan siapa yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepadanya. Menurut Al-Nadim, beliau belajar filsafat kepada Al-Bakhli yang menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno. Ia sangat rajin dalam menulis dan membaca, mungkin inilah yang menyebabkan penglihatannya secara berangsur-angsur melemah dan akhirnya buta total. Ia menolak akan untuk di obati dengan mengatakan bahwa pengobatan untuknya itu sia-sia karena tak sebentar lagi dia akan meninggal.
Tak heran jika karya-karyanya sangat banyak sekali bahkan dia menuliskan pada salah satu kitabnya, bahwasanya dia menulis tidak kurang sari 200 karya tulis dalam berbagai ilmu pengetahuan. Karya-karyanya yang meliputi:
  1. Ilmu Falak,
  2. Matematika,
  3. Bidang kimia, yang terkenal dengan Kitab As-rar
  4. 4.      Bidang kedoteran, yang terkenal dengan al-mansuri Liber al-Almansoris
  5. 5.      Bidang Medis, yang terkenal dengan kitab Al-Hawi,
  6. 6.      Mengenai penyakit cacar dan pencegahannya, yakni Kitab al-Judar wa al-Hasbah
Sebagian dari karyanya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-Rasa’il Falsafiyyat dan buku-buku yang lainnya seperti Thib al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafah dan lain sebagainya. Dia terkenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding dengan sebagai filosof.
3.      Filsafatnya
Lima Kekal ( Al-Qadiim )
Karena filsafatnya terkenal dengan 5 yang kekal, maka kami sebagai pemakal memasukannya dalam makalah kami. Sebenarnya pemikirannya sangat banyak, akan tetapi yang akan kami bahas disini hanya pada pemikirannya mengenai 5 hal yang kekal.
5 hal yang kekal itu antara lain; Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolut), dan al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut). Dan dia juga mengklasifikasinya pada yang hidup dan aktif. Yang hidup dan aktif itu Allah dan jiwa, yang tidak hidup dan pasif itu materi, yang tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif itu ruang dan waktu.
Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), menurutnya Allah itu kekal karena Dia-lah yang menciptakan alam ini dari bahan yang telah ada dan tidak mungkin dia menciptakan ala mini dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), menurutnya jiwa merupakan sesuatu yang kekal selain Allah, akan tetapi kekekalannya tidak sama dengan kekekalan Allah. Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), disebut juga materi mutlak yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi, dan menurutnya mengenai materi pertama, bahwasanya ia juga kekal karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal.
Sebelumnya dia berpendat bahwa materi bersifat kekal dank arena materi ini menempati ruang, maka Al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ruang absolute) juga kekal. Ruang dalam pandangannya dibedakan menjadi dua kategori, yakni ruang pertikular yang terbatas dab terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya,  dan ruang universal yang tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.
Seperti ruang, dia membedakan pula Al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut) padad dua kategori yakni; waktu yang absolut/mutlak yang bersifat qadiim dan substansi yang bergerak atau yang mengalir (jauhar yajri), pembagian yang kedua yaitu waktu mahsur. Waktu mahsur adalah waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu yang kedua ini tidak kekal. Menurutnya, bahwasanya waktu yang kekal sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya waktu yang terbatas.

4. ANALISA
            Keistimewaan pemikiran Ar-razi terletak pada keberaniannya menempatkan akal logis sebagai kriteria utama bagi setiap bentuk pengetahuan dari perilaku. Ar-Razi tidak memberi tempat bagi kekuatan irasional yang hanya berpihak pada kebiasaan(tradisi) ataupun intuisi mistis. Karena itu ia juga menolak doktrin-doktrin keagaman yang dipandang tidak memiliki dasar pembenaran secara logis.
       

tokoh filsafat Al-Farabi



  Al-Farabi
1.      Biografi
Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr. Ia lahir di Wasij, Distrik Farab (sekarang kota Atrar), Turkistan pada 257 H. Pada tahun 330 H, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah al-Hamdan, sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi memilih hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.
2.      Pemikirannya
a)      Pemaduan Filsafat
Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran  filsafat yang berkembang sebelumnya terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Karena itu ia dikenal filsuf sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles. Dalam masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato. Sedangkan dalam hal matematika, ia dipengaruhi oleh Plotinus.
Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan Aristoteles mengenai idea. Aristoteles tidak mengakui bahwa hakikat itu adalah idea, karena apabila hal itu diterima berarti alam realitas ini tidak lebih dari alam khayal atau sebatas pemikiran saja. Sedangkan Plato mengakui idea merupakan satu hal yang berdiri sendiri dan menjadi hakikat segala-galanya. Al-Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filsuf tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada zat Tuhan. Kalaupun terdapat perbedaan, maka hal itu tidak lebih dari tiga kemungkinan:
1)      Definisi yang dibuat tentang filsafat tidak benar
2)      Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang-orang yang menduga bahwa antara keduanya terdapat perbedaan dalam dasa-dasar falsafi.
3)      Pengetahuan tentang adanya perbedaan antara keduanya tidak benar, padahal definisi keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara mutlak.
Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena keduanya mengacu kepada kebenaran, dan kebenaran itu hanya satu, kendatipun posisi dan cara memperoleh kebenran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari kebenaran. Kalaupun terdapat perbedaan kebenaran antara keduanya tidaklah pada hakikatnya, dan untuk menghindari itu digunakab ta’wil filosofis. Dengan demikian, filsafat Yunani tidak bertentangan secara hakikat dengan ajaran Islam, hal ini tidak berarti Al-farabi mengagungkan filsafat dari agama. Ia tetap mengakui bahwa ajaran Islam mutlak kebenarannya.
b)     Jiwa
Adapun  jiwa, Al-Farabi juga dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinus. Jiwa bersifat ruhani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, beruapa, berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini tidak hancur dengan hancurnya badan.
c)      Politik
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang sangat penting adalah tentang politik yang dia tuangkan dalam karyanya, al-Siyasah al- Madiniyyah (Pemerintahan Politik) dan ara’ al-Madinah al-Fadhilah (Pendapat-pendapat tentang Negara Utama) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena kepalalah (otak) segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan  kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya sebagai mana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara berturut-turut. Pengusa ini harus orang yang lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memilki kualitas-kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan jasmani dan kefasihan berbicara.
Tentu saja sangat jarang orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut, kalau terdapat lebih dari satu, maka menurut Al-Farabi yang diangkat menjadi kepala negara seorang saja, sedangkan yang lain menanti gilirannya. Tetapi jika tidak terdapat seorang pun yang memiliki secara utuh. Dua belas atribut tersebut, pemimpin negara dapat dipikul secara kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin.
Pemikiran Al-Farabi tentang kenegaraan terkesan ideal sebagaimana halnya konsepsi yang ditawarkan oleh Plato. Hal ini dimungkinkan, Al-Farabi tidak pernah memangku suatu jabatan pemerintahan, ia lebih menyenangi berkhalawat, menyendiri, sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan. Kemungkinan lain yang melatarbelakangi pemikiran Al-Farabi itu adalah situasi  pada waktu itu, kekuasaan Abbassiyah diguncangkan oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan

an nafs



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian An-Nafs
Istilah nafs yang dimaksud di sini adalah istilah bahasa Arab yang dipakai dalam al-Qur’an. Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jama’nya nufus dan anfus) berarti ruh (roh) dan ‘ain (diri sendiri).[1]
 Sedangkan dalam kamus al- Munawir disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufus) itu berarti roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), al-sahsh (orang), al-sahsh alinsan (diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri).[2]
Sedangkan menurut Dawan Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an disebutkan bahwa dalam al-Qur’an nafs yang jama’nya anfus dan nufus diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri (self atau selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), juga dipakai untuk beberapa arti lainnya.[3]
Kata Nasf digunakan juga untuk menunjuk kepada “diri Tuhan” seperti Firman Allah dalam Q.S Al-An’am ayat 19.

Dalam kitab Lisan al-Arab, Ibnu Manzur menjelaskan bahwa kata nafs dalam bahasa Arab digunakan dalam dua pengertian yakni nafs dalam pengertian nyawa, dan nafs yang mengandung makna keseluruhan dari sesuatu dan hakikatnya menunjuk kepada diri pribadi. Setiap manusia memiliki dua nafs, nafs akal dan nafs ruh. Hilangnya nafs akal menyebabkan manusia tidak dapat berpikir namun ia tetap hidup, ini terlihat ketika manusia dalam keadaan tidur. Sedangkan hilangnya nafs ruh, menyebabkan hilangnya kehidupan.[4]
B.     Ayat-ayat Al-Qur’an tentang An-Nafs
Di dalam Al-Qur’an tidak sedikit surat maupun ayat yang menyebutkan lafadz An-Nafs. Keberagaman ayat tersebut menjadikan tafsir setiap lafadz An-Nafs berbeda-beda pada setiap surat maupun ayat nya. Tafsir tersebut menjadikan kita sebagai hamba Allah dituntut untuk mampu berfikir dan membedakan setiap tafsir-tafsirnya dalam surat atau ayat tersebut.
Dalam Al-Qur’an ayat yang menyebutkan lafad An-Nafs diantaranya adalah:
1.      Q.S Ali ‘Imran 145.
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ۚ وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Penafsiran: “(Setiap diri tidaklah akan mati kecuali dengan izin Allah) artinya dengan kada daripada-Nya (sebagai ketentuan) mashdar artinya ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah (yang telah ditetapkan waktunya) hingga tidak dapat dimajukan atau diundurkan. Lalu kenapa kamu menderita kekalahan, padahal kekalahan itu tidak dapat menolak kematian dan ketabahan takkan dapat mengakhiri kehidupan. (Barang siapa yang menghendaki) dengan amalannya (pahala dunia) artinya balasannya (Kami berikan itu kepadanya) artinya bagiannya di dunia tetapi di akhirat ia tidak mendapat apa-apa. (Dan barang siapa menghendaki pahala akhirat Kami berikan pula kepadanya) artinya pahalanya (dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur).[5]

           Munasabah Q.S Ali ‘Imran 145 : Sebelumnya telah dibahas tentang perintah untuk mencintai jihad di jalan Allah, berusaha meraih kemenagan, penguatan jiwa, dan kabar gembira untuk orang beriman. Kemudian, dalam ayat-ayat ini dibahas tentang jalan menuju kebahagiaan diakhirat dengan jihad dan sabar, dan jalan menuju kebahagiaan di dunia dengan akhlaq yang sesuai dengan syariat, mematuhi perintah Nabi SAW, berkorban, berbuat kebaikan, adil, dan selau berusaha dalam posisi benar.

2.    Q.S Al-Maidah ayat 32. Dalam ayat ini An-Nafs diartikan sebagai totalitas manusia.
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ (٣٢)

Artinya:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Penafsiran:
“(Oleh karena itu) artinya karena perbuatan Qabil itu tadi (Kami tetapkan bagi Bani Israel bahwa sesungguhnya) innahuu disebut dhamir sya`n (siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena manusia lainnya) yang dibunuhnya (atau) bukan karena (kerusakan) yang diperbuatnya (di muka bumi) berupa kekafiran, perzinaan atau perampokan dan sebagainya (maka seolah-olah dia telah membunuh manusia kesemuanya. Sebaliknya siapa yang memelihara kehidupannya) artinya tidak hendak membunuhnya (maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.) Kata Ibnu Abbas, "Ini dilihat dari segi melanggar kesuciannya dan dari segi memelihara serta menjaganya." (dan sesungguhnya telah datang kepada mereka itu) yakni kepada orang-orang Israel (rasul-rasul Kami membawa keterangan-keterangan yang jelas) maksudnya mukjizat-mukjizat (kemudian banyak di antara mereka sesudah itu melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi) dengan kekafiran, melakukan pembunuhan dan lain-lain”.

        Munasabah Q.S Al-Maidah ayat 32: Iri,dengki, egois, dan mengikuti hawa nafsu selalu berakhir dengan penyesalan dan kerugian. Seprti yang terjadi dalam kisah Qabil dan Habil. Kisah ini terkait dengan pengingkaran kaum Yahudi yang dijelaskan dalam ayat sebelumnya, sebagai peringatan kepada mereka.

3.    Q.S Ar-Ra’d ayat 11. Dalam ayat ini An Nafs diartikan sebagai apa yang      terdapat dalam diri manusia yang  menghasilkan tingkah laku.
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Artinya: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikuti bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagai mereka selain Dia. ”
Penafsiran: “(Baginya) manusia (ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran) para malaikat yang bertugas mengawasinya (di muka) di hadapannya (dan di belakangnya) dari belakangnya (mereka menjaganya atas perintah Allah) berdasarkan perintah Allah, dari gangguan jin dan makhluk-makhluk yang lainnya. (Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum) artinya Dia tidak mencabut dari mereka nikmat-Nya (sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri) dari keadaan yang baik dengan melakukan perbuatan durhaka. (Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum) yakni menimpakan azab (maka tak ada yang dapat menolaknya) dari siksaan-siksaan tersebut dan pula dari hal-hal lainnya yang telah dipastikan-Nya (dan sekali-kali tak ada bagi mereka)” bagi orang-orang yang telah dikehendaki keburukan oleh Allah (selain Dia) selain Allah sendiri (seorang penolong pun) yang dapat mencegah datangnya azab Allah terhadap mereka. Huruf min di sini adalah zaidah.”[6]
        Munasabah Q.S Ar-Ra’d ayat 11 : Pada ayat sebelumnya disebutkan .keingkaran orang musrik terhadap Hari Kebangkitan, kemudian dalam ayat ini Allah menunjukan pengetahuan-Nya yang luas meliputi segala sesuatu, seperti hal gaib, setiap yang tampak dan tersembunyi, janin dalam perut, sampai tujuan orang musrik meminta ditunjukan tanda yang nyata.[7]

C.    Hikmah Yang Dapat diambil
Dari keterangan ayat pada subbab sebelumnya, ada beberapa hikmah yang bisa kita ambil sebagai bahan pelajaran hidup manusia. Di subbab ini kami akan mencoba untuk menguraikan hikmah-hikmah tersebut sesuai ayat di atas.
1.   Hikmah yang dapat diambil dari Q.S Ali ‘Imran ayat 145 diantaranya:

·         Sahnya (diterima atau ditolak) suatu pekerjaan tergantung pada niatnya.
·         Kematian adalah sesuatu yang pasti terjadi, tidak seseorangpun yang bisa memperlambat atau mempercepat.
·         Siapa saja yang beramal karena ingin dipuji, maka yang didapatkannya adalah dunia.
·         Setiap manusia memiliki jalan masing-masing[8]

2.    Hikmah yang dapat diambil dari Q.S Al-ma’idah ayat 32 diantaranya:

·           Larangan membunuh di tujukan kepada semua orang. Namun, disampaikan secara kusus kepada bangsa yahudi, sebagai peringtan tentang kejahatan mereka yang sering membunuh para nabi. Selain itu, merupakan sindiran atas sifat mereka yang haus darah untuk membunuh Nabi SAW dan para sahabatnya.
·         Isyarat atas keburukan dan kejahatan Bani Israil. Mereka adalah kaum pembohong dan sombong hingga saat ini.
·           Huruf Inna dan lam pada ayat ini berfungsi untuk menegaskan kebenaran atas kabar yang disampaikan bahwa kaum Yahudi benar-benar melampaui batas dalam membuat kerusakan.
·                Bani Israil tidak menerima ajaran yang dibawa oleh nabi-nabinya. Bahkan, kebanyakan mereka bersikap syirik dan melampaui batas.

3.    Hikmah yang dapat diambil dari Q.S ar-ra’d ayat 11 diantaranya:
·         Bila Allah menghendaki keburukan pada seseorang maka tak seorangpun yang mampu mencegahnya.
·         Kondisi yang lebih baik akan didapatkan oleh mereka yang mau mengubah kondisi hidupnya.
·         Allah tidak akan mengubah nikmat-Nya dengan mengurangi atau menghilangkan dari seseorang, kecuali karena kemaksiatan atau perbuatannya yang merusak
                                   
D.   Interpretasi Nafs dalam al-Qur’an dan pandangan para sufi
Menurut Al-Qusyairi dalam risalahnya  dinyatakan  bahwa, “Nafs dalam pengertian kaum sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela atau perilaku bukuk.” Pegertian kaum sufi ini sama dengan kamus besar Bahasa Indonesia, yang antara lain menjelaskan arti kata nafsu sebagia “dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik.”[9]
Para ahli tasawuf membagi perkembangan jiwa menjadi tiga tingkatan:
·      Tingkat pertama manusia cenderung untuk hanya memenuhi naluri rendahnya yang disebut dengan jiwa hayawaniyah/ kebinatangan (nafs ammarah) berdasar pada surat Yusuf (12) ayat 53.
·        Tingkat kedua, manusia sudah mulai untuk menyadari kesalahan dan dosanya, ketika telah berkenalan dengan petunjuk Ilahi, di sini telah terjadi apa yang disebutnya kebangkitan rohani dalam diri manusia. Pada waktu itu manusia telah memasuki jiwa kemanusiaan, disebut dengan jiwa kemanusiaan (nafs lawwamah) berdasar pada surat al-Qayimah (73) ayat 2.
·        Tingkat ketiga adalah jiwa ketuhanan yang telah masuk dalam kepribadian manusia, disebut jiwa ketuhanan (nafs muthmainnah) berdasar pada surat al-Infithar (89) ayat 27-30. Tingkatan jiwa ini hampir sama dengan konsep psikoanalisanya Freud yaitu Id, Ego, dan Superego.[10]

Quraish Shihab cenderung memahami nafs sebagai sesuatu yang merupakan hasil perpaduan jasmani dan ruhani manusia. Perpaduan yang kemudian menjadikan yang bersangkutan mengenal perasaan, emosi, dan pengetahuan serta dikenal dan dibedakan dengan manusia-manusia lainnya.[11]
Kata nafs dalam surat al-Qaaf (50) ayat 16, mengandung makna hati sebagai potensi internal pada diri manusia yang aktif membisikkan (mutawaswisu bihi nafsuhu/apa yang dibisikkan oleh hatinya). Nafs dalam pengertian ini diasumsikan sebagai gerak imanen (gerak dalam) yang bersifat qalbiyah (ke-hati-an), dan sebagai pusat grativasi manusia, pusat komando yang mengatur seluruh potensi kemanusiaan16. Nafs ini berisi impuls-impuls yang berupa rasa sedih, rasa benci, rasa iri hati, yang terkumpul dalam hati. Nafs  diciptakan oleh Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan.[12]
Dalam surat al-Baqarah (2) ayat 284, Allah memerintahkan agar manusia selalu mengawasi, meneliti, dan merasakan apa yang ada dalam nafs (hatinya). Apabila itu sesuai dengan perintah-Nya dan tidak berlawanan dengan larangan-larangan-Nya, maka manusia disuruh memelihara dan menghidup-suburkan nafs itu, sehingga nafs itu dapat diaktualisasikan amal perbuatan yang baik, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu sisi dalam manusia (nafs; hati) inilah yang oleh al-Qur’an diperintahkan untuk selalu diperhatikan.[13]
Fazlur Rahman menjelaskan mengenai nafs dalam al-Qur’an, kata ini dalam filsafat dan tasawuf Islam telah menjadi konsep tentang jiwa dengan pengertian bahwa ia adalah substansi yang terpisah dari jasmani. Jiwa yang dikatakan juga sebagai diri atau batin manusia memang dinyatakan oleh al-Qur’an dengan realitas pada manusia, tetapi ia tidak terpisah secara eklusif dari raga. Dengan kata lain, menurut Fazlur Rahman, al-Qur’an tidak mendukung doktrin dualisme yang radikal antara jiwa dan raga. Menurut penafsirannya nafs yang sering diterjemahkan menjadi jiwa (soul), sebenarnya berarti pribadi, perasaan, atau aku. Adapun predikat yang beberapa kali disebut dalam al-Qur’an hanyalah dan seharusnya dipahami sebagai kaidah-kaidah, aspek-aspek, watak-watak, dan kecenderungan-kecenderungan yang ada pada pribadi manusia. Hal ini seharusnya dipahami sebagai aspek mental, sebagai lawan dari aspek phisik, tetapi tidak sebagai substansi yang terpisah.[14]
Sedangkan diskursus menganai jiwa oleh para pemikir muslim seperti al-Ghazali yang mengkaji konsep nafs secara mendalam. Menurut al-Ghazali nafs itu mempunyai dua arti, arti nafs yang pertama adalah nafsu-nafsu rendah yang kaitannya dengan raga dan kejiwaan, seperti dorongan agresif (al-ghadlab), dan dorongan erotik (al-syahwat), yang keduanya dimiliki oleh hewan dan manusia.
Adapun nafs yang kedua adalah nafs muthmainah yang lembut, halus, suci dan tenang yang diundang oleh Tuhan sendiri dengan lembutnya untuk masuk ke dalam surga-Nya (QS:al-Fajr;27-28).[15]
Adapun Shafi’i membagai perkembangan nafs menjadi 9 taraf perkembangan, yaitu: 1). nafs nabatiyah (jiwa tumbuhan); 2). nafs alhayawaniyah (jiwa kebinatangan); 3). nafs al-mulhimah (jiwa yang terilhami); 6). nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang tentram); 7). nafs al-radliyah (jiwa yang ridla terhadap Allah); 8). Nafs al-mardliyah (jiwa yang mendapat ridla dari Allah); 9). nafs al-kamilah (jiwa yang sempurna).









Daftar Pustaka

Dawam M. Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996),hlm.250
Dazuki Hafidz, dkk., al-Qur’an al-Karim & Tafsirannya, Jilid I. (Semarang: PT.Citra Effhar, 1993), hlm.497
Hatta ahmad dkk.maghfirah pustaka (jakarta timur.2012)hlm
Jalaluddin asy-syuyuthi, jalaluddin muhammad ibn ahmad al-mahalliy.tafsir jalalain,(Tasikmalaya:Pesantren persatuan Islam,2010).Al-maidah 21-23
Quraish M. Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), 285-286.
Rahman Fazlur, dalam M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia.

Warson Ahmad Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka4 Progressif, 1984),hlm.1545.
.
http:// KONSEP NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24

http:// KONSEP NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24

http:// KONSEP NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24














[1] http:// KONSEP NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24
[2] Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka4 Progressif, 1984),hlm.1545.
[3] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996),hlm.250.
[4] http:// KONSEP NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24

[5] jalaluddin asy-syuyuthi., hlm ali-imran 141-160
[6] jalaluddin asy-syuyuthi, ar-ra’d 1-20
[7][7] Ahmad hatta dkk, The Great Al-Qur’an:maghfirah pustaka (jakarta timur.2012) hlm 1048
[8] Ahmad hatta dkk, The Great Al-Qur’an:maghfirah pustaka (jakarta timur.2012)hlm. 287
[9] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), 285-286.
[10] http:// KONSEP NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24

[11] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Amanah, (Jakarta: Pustaka Karim, 1992),hlm. 196
[12] http:// KONSEP NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24

[13] Hafidz Dasuki, dkk., al-Qur’an al-Karim & Tafsirannya, Jilid I. (Semarang: PT.Citra Effhar, 1993), hlm.497
[14] Fazlur Rahman, dalam M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia.
[15] http:// KONSEP NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24