MAKALAH
“AGAMA DAN EKONOMI”
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
“Sosiologi Agama”
Dosen Pembimbing :
Lilik Rofiqoh, S.Hum.,MA
Disusun Oleh :.
1.
Ana Mira
kunita (1733143008)
2.
Ike
Nurjanah (1733143022)
3.
Meyvi
Alfita (1733143038)
4.
Nayla Mariatul
Ulfa (1733143052)
5.
Syafi’ah
Wulan S. (1733143070)
SEMESTER
III
TASAWUF PSIKOTERAPI
FAKULTAS
USHULUDDIN
ADAB dan DAKWAH
IAIN
TULUNGAGUNG 2014-2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, bahwa hanya dengan petunjuk dan hidayah
Allah SWT penulisan makalah ini dapat terselesaikan dan sampai dihadapan para
pembaca yang berbahagia. Semoga kiranya bermanfaat yang sebesar-besarnya dan
memberikan sumbangan yang berarti bagi pendidikan pada masa sekarang dan yang
akan datang.
Dengan terselesaikannya pembuatan makalah ini penulis
tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak
Dr.Maftukhin, M.Ag, selaku Rektor IAIN Tulungagung.
2. Lilik Rofiqoh,S.Hum.,MA Selaku Dosen Pengampu mata kuliah Sosiologi Agama yang membimbing dan
memberi pengarahan kepada kami.
3. Admisi
Pendidikan selaku tenaga kerja perpustakaan yang telah memberi izin untuk
meminjamkan buku-buku perpustakaan.
4. Serta
semua pihak yang berpartisipasi untuk meyelesaikan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa apa yang disajikan didalam
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, dengan segala
kerendahan hati penyusun mengharap kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya dengan syukur alhamdulillah atas
terselesaikannnya makalah ini, diiringi do’a semoga bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
Tulungagung, 09 Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Cover .......................................................................................................... 1
Kata Pengantar ........................................................................................... 2
Daftar Isi ..................................................................................................... 3
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ................................................................................ 4
B.
Rumusan Masalah ........................................................................... 4
C.
Tujuan Pembahasan ........................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agama
dan Ekonomi .................................................... 5
B.
Korelasi Agama
dan Ekonomi ........................................................ 5
C.
Pandangan para
Tokoh Sosiologi .................................................... 8
D.
Korelasi Agama
dan Ekonomi dalam Islam ................................... 14
BAB III KESIMPULAN
A.
Kesimpulan .................................................................................... 15
Daftar Pustaka .................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama adalah
seperangkat nilai dan norma yang tersusun dalam sebuah system kepercayaan yang
mengatur bagaimana cara manusia berhubungan dengan tuhan dan berhubungan dengan
sesamanya. Setiap system kepercayaan mempunyai cara-cara tertentu yang mengatur
manusia berhubungan dengan tuhannya yang dimanifestasikan dalam berbagai ritual
peribadatan. Nilai normative agama mengatur bagaimana cara seorang individu dan
masyarakat pada setiap sendi kehidupan. Salah satu dari sendi kehidupan social
manusia yang turut serta diatur oleh agama adalah kehidupan ekonomi masyarakat.
Ekonomi sendiri
merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi
segala kebutuhan dan keinginannya yang menyangkut usaha pembuatan keputusan,
pelaksanaan, dan pengalokasian sumber daya yang ada. Berdasarkan paparan
tersebut penulis ingin mendalami lebih lanjut materi mengenai ”Agama dan Ekonomi”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian agama dan ekonomi?
2.
Bagaimana korelasi antara agama dan ekonomi?
3.
Bagaimana pandangan dari para tokoh sosiologi mengenai
agama dan ekonomi?
4.
Bagaimana
korelasi agama dan ekonomi dalam islam?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui pengertian agama dan ekonomi.
2.
Mengetahui korelasi antara agama dan ekonomi.
3.
Mengetahui pandangan para tokoh sosiologi mengenai
agama dan ekonomi.
4.
Mengetahui
korelasi agama dan ekonomi dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agama dan Ekonomi
Menurut
KBBI agama adalah system kepercayaan kepada Tuhan. Dalam dictionary of religion
disebutkan bahwa agama berasal dari Bahasa sansekerta yang berarti tradisi.
Dalam Bahasa arab agama biasa disebut dengan ad-din. Secara umum agama
diartikan sebagai persepsi dan keyakinan manusia terkait dengan eksistensinya,
alam semesta, dan peran Tuhan terhadap alam semesta dan kehidupan manusia
sehingga membawa kepada pola bahwa agama yang menentukan perilaku dan tujuan
manusia.[1]
Secara
Bahasa (Etimologi) istilah ekonomi berasal dari Bahasa Yunani yaitu oikosnamos atau oikonomia yang artinya menejemen urusan rumah tangga, khususnya
penyediaan dan atministrasi pendapatan. Secara istilah (terminologi), menurut
Albert L. Meyers, ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempersoalkan kebutuhan dan
pemuasan kebutuhan manusia. Secara
umum, ekonomi adalah sebuah bidang kajian tentang pengurusan sumer daya
material individu, masyarakat, dan negara untuk meningkatkan kesejahteraan
hidup manusia.[2]
B.
Korelasi Agama dan Ekonomi
Menurut Johnstone agama adalah
sistem keyakinan dan praktek sebagai sarana bagi sekelompok orang untuk
menafsirkan dan menanggapi apa yang mereka rasakan sebagai pengada adikodrati
(supranatural) dan kudus. Agama sebagai sistem keyakinan berfungsi sebagai
sumber pedoman bagi masyarakat dalam berpikir dan menafsirkan segala sesuatu.
Sementara itu, agama sebagai sistem praktek berfungsi sebagai petunjuk bagi
para penganutnya dalam bertindak atau menanggapi berbagai stimulus yang
dihadapinya. Keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati ini
menjadi suatu tendensi yang mengarahkan manusia pada tatanan sosial masyarakat
yang harmonik.[3]
Sementara itu menurut Emile Durkheim
agama adalah sistem simbol- simbol yang melaluinya masyarakat menjadi sadar
atas dirinya. Durkheim berargumen bahwa agama secara simbolis mewujudkan
masyarakat itu sendiri. Durkheim memandang kepercayaan agamis sebagai
representasi-representasi yang mengunkapkan hakikat hal-hal yang sakral dan
relasi-relasi yang mereka pertahankan baik dengan satu sama lain maupun dengan
duniawi. Menurutnya agama dalam suatu masyarakat dalam suatu masyarakat
nonmodern adalah suatu nurani kolektif yang serba meliputi.[4]
Fungsi utama agama menurut William
Haviland adalah untuk mengurangi kegelisahan dan memantapkan kepercayaan kepada
diri sendiri serta memelihara keadaan manusia agar siap mengahdapi realitas.[5]
Agama merupakan salah satu dari
lembaga sosial yang ada dalam masyarakat yang terdiri dari organisasi pola-pola
pemikiran dan pola-pola perilaku manusia yang diwujudkan melalui berbagai
aktivitas sosial dan peribadatan. Agama sebagai lembaga sosial pada dasarnya
merupaka himpunan norma-norma segala tingkata yang berkisar pada suatu
kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Selain itu juga, agama sebagai
lembaga sosial memiliki simbol-simbol, peralatan, tradisi dan tujuan-tujuan
tertentu.
Menurut Soerjono Soekanto, lembaga
kemasyarakatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia pada
dasarnya mempunyai beberapa funsi, yaitu : 1. Sebagai pedoman pada anggota
masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap; 2. Menjaga
keutuhan masyarakat; 3. Memberikan pegangan kepada anggota masyarakat untuk
mengadakan pengendalian sosial (social control).[6]
Kehidupan beragama pada dasarnya
merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib, luar biasa atau
supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Agama
mengatur pada setiap sendi kehupan masyarakat, termasuk salah satunya adalah
kehidupan ekonomi. Ekonomi sendiri merupakan suatu usaha dalam pembuatan
keputusan dan pelaksanaannya yang berhubungan dengan pengalokasian sumberdaya
rumah tangga yang terbatas diantara berbagai anggotanya dengan
mempertimbangkan, kemampuan, usaha dan keinginan masing-masing. Dalam hal ini,
agama memberikan pedoman yang mengatur dan membatasi berbagai tindakan ekonomi
yang dianggap baik dan dianggap buruk oleh ajaran agama.[7]
Agama menetapkan tindakan-tindakan
ekonomi apa saja yang boleh dilakukan dan tindakan-tindakan ekonomi yang tidak
boleh dilakukan oleh para penganutnya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya
dalam agama islam, tindakan sosial ekonomi seperti “jual-beli” merupakan suatu
hal yang diperbolehkan, tetapi disisi lain agama Islam juga memberikan batasan
mengenai bentuk-bentuk jual-beli yang diperbolehkan. Islam melarang bentuk jual
beli barang haram seperti minuman keras dan narkoba. Artinya, dalam menjalankan
akitivitas ekonomi setiap pemeluk agama selalu dianjurkan untuk memperhatikan
norma halal dan haram yang terdapat dalam agama tersebut. Oleh karen itu,
terdapat korelasi yang kuat antara agama sebagai lembaga sosial dan ekonomi
sebagai wujud aktivitas sosial masyarakat.
Dalam sistem mata pencaharian pada
masyarakat primitif, biasanya aktivitas-aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh
mereka selalu disisipi dengan ritual-ritual tertentu seperti upacara ritual
setelah panen. Mereka memberikan sesajen kepada roh-roh nenek moyang dan berdoa
atas hasil panen yang telah didapatkan. Dalam mencari hasil hutan juga tidak
boleh melanggar pantangan (taboo) karena tanaman dan binatang dipercayai punya
penghuni, tenaga atau penunggu gaib (dinamisme, animisme).[8]
C. Pandangan Para Tokoh
1.
Karl
Marx
Dalam kajiannya mengenai agama dan
ekonomi, Marx memandang bahwa agama berfungsi sebagai alat eksploitasi
kapitalis. Menurutnya kapitalisme telah menyebabkan manusia sebagai pekerja
tidak lagi mempunyai kontrol atas potensi yang terkandung dalam kerja mereka.
Agama yang ada saat itu
dipandang tidak mampu memberikan solusi atas ketertindasan kaum proletar. Agama
justru meninabobokan mereka dari perjuangan kelas melalui dogma-dogma yang
dikemukakan oleh para pemuka agama. Tekanan agama tradisional pada dunia
transenden, non-material dan harapan-harapan kehidupan setelah kematian
membantu mengalihkan perhatian orang dari penderitaan dan kesulitan nyata dalam
kehidupan mereka.
Marx melihat agama sebagai sebuah
ideologi dimana ia menempatkannya dalam konteks sosial-historis. Ia
menganalisis antara kondisi-kondisi kehidupan (sub-ekonomi masyarakat) dan
gagasan-gagasan (superstruktur normatif masyarakat) pada dasar-dasar
kontinuitas perubaha melalui perkembangan sejarah masyarakat. Sebagai sebuah
ideologi, agama berfungsi sebagai seperangkat sanksi moral, khayal, penghibur
atas kondisi ketidakadilan, penyelubung kenyataan dan pembenar ketidaksetaraan.[9]
Marx menganggap agama sebagai
perwujudan dari rasa ketertindasan dan pembenaran atas tatanan sosial yang ada.
Sehingga pada akhirnya Marx sampai pada satu kesimpulan yang menyatakan bahwa
“agama merupakan candu bagi masyarakat”.
Marx menekankan bahwa agama
sebenarnya muncul dari kondisi material tertentu bukan dari wahyu atau gagasan
kreatif yang muncul begitu saja karena ilham illahiyah tanpa adanya pergulatan
dialektik antara kesadaran dengan lingkungan. Ia melihat bahwa agama berlaku
atas masyarakat bagaikan candu yang meringankan penderitaan, tetapi tidak
menghilangkan keadaan yang memunculkan penderitaan tersebut. menurutnya agama
semata-mata bersifat menenangkan orang dan memungkinkan orang-orang yang berada
dibawah pengaruh agama tersebut menerima begitu saja keadaan sosial karena
perhatian mereka dialihkan kepada harapan akan kebahagiaan kehidupan di
kemudian hari dimana semua penderitaan dan kesengsaraan akan lenyap untuk
selama-lamanya (alam akhirat).
Hubugan erat antara kondisi-kondisi
kehidupan material dan suprastruktur sulit untuk diidentifikasi adalah karena
ideologi-ideologi itu memberikan ketimpangan dan kekukurangan dalam kehidupan
material. Akibatnya, meskipun ideologi itu mencerminkan dan hubungan-hubungan
produksi dalam masyarakat, cerminan itu seringkali menyimpang atau dalam
istilah Marx sebagai “suatu kesadaran-dunia yang terbalik”[10]
Saat ideologi-ideologi tersebut
menjadi kesadaran subjektif seseorang akan menyebabkan individu tersebut tidak
mampu menyadari kepentingan mereka yang sesungguhnya. Contohnya seseorang buruh
lebih menunjuk sebab kemiskinan yang dideritanya karena nasib atau taqdir
dibanding karena praktik penghisapan para kapitalis.
Kaum kapitalis menguasai alat
produksi dan mengeksploitasi kaum buruh melalui mekanisme kerja.
Ketidakmerataan pengalokasian sumberdaya ekonomi ini mengakibatkan kesenjangan
antar kelas dan kemiskinan pada kaum buruh. Agama yang hadir dalam kehidupan
masyarakat saat itu dianggap tidak memberikan solusi yang tepat dalam
mengurangi penderitaan buruh. Agama justru memberikan ilusi romantika ukhrowi
sebagai kebahagiaan sejati di kehidupan yang selanjutnya. Kaum proletar lebih
memandang kemiskinannya sebagai takdir dari pada sebagai kejahatan struktural
yang diakibatkan oleh para kapitalis. Oleh karena itulah Marx memandang agama
sebagai candu rakyat.[11]
2.
Max
Weber
Pemikiran Max Weber mengenai agama dan ekonomi tertuang dalam salah
satu karyanya yang terkenal yaitu The Protestant Ethic and Spirit of
Capitalism. Dalam bukunya tersebut ia mengungkapkan hubungan elective
afinity, yaitu hubungan yang memiliki konsistensi logis dan pengaruh motivasionalyang
bersifat mendukung secara timbal balik anatar etika protestan dan semangat
kapitalisme pada awal perkembangan kapitalisme modern. Menurutnya terdapat
suatu etika dalam agama Protestan yang menjadi stimulus bagi pertumbuhan sistem
ekonomi kapitalis modern dalam tahap pembentukannya.
Weber menentang pandangan Marx yang melihat agama sebagai lembaga
bayangan yang selalu mencerminkan kekuasaan dan kepentingan kelas yang
berkuasa. Ia berpendapat bahwa kebangkitan kapitalisme didukunga oleh sikap yang
ditekankan oleh Protestanisme asketik. Jadi bukan, (kekuatan) ekonomi yang
menentukan agama, tetapi agamalah yang menentukan arah perkembangan ekonomi.
Weber melihat kondisi sosial para penganut agama Protestan seperti
Calvinisme dan Metodisme yang mempercayai konsep predistinasi. Menurut konsep
ini Allah telah menentukan keselamatan abadi seseorang diakhirat yang ditandai
dengan kesuksesan dan kesejateraan yang dihasilkan oleh pekerjaan. Mereka
memandang pekerjaan sebagai suatu panggilan suci (beruf atau calling).
Membuang-buang waktu merupakan dosa pertama dan secara prinsip dosa yang paling
mematikan. Ajaran-ajaran agama tersebut pada
akhirnya melahirkan pola motivasi yang memiliki konsistensi logis bagi semangat
kapitalisme modern yang sedang berkembang seperti akuntansi rasional, hukum
rasional dan teknik rasional.[12]
3.
Karl
Polanyi
Dalam esainya yang berjudul The Economy as an Instituted Process,
Karl Polanyi mengajukan sebuah gagasan tentang embeddedness (keterlekatan).
Menurutnya, kehidupan ekonomi manusia terlekat dan terjaring dalam institusi-
institusi sosial lain seperti institusi politik dan agama. Granovetter,
mendefinisikan keterlekatan ini sebagai tindakan ekonomi yang disituasikan
secara sosial dan melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang
berlangsung diantara para aktor.
Menurut Polanyi, memasukan institusi non-ekonomi kedalam ekonomi
manusia merupakan suatu hal yang penting. Menurutnya agama dan pemerintahan
mungkin menjadi penting terhadap struktur dan berfungsinya ekonomi sebagai
institusi moneter. Menurutnya ekonomi masyarakat pra industri melekat pada
institusi sosial, politik, dan agama. Kehidupan ekonomi dalam mayarakat
pra-kapitalis diatur keluarga subsitensi, resiprositas, dan redistribusi.
Keluarga merupakan suatu sistem dimana barang-barang diproduksi dan disimpan
dikalangan anggota kelompok untuk pemakaian mereka sendiri (self sufficient
system).15 Barang yang diproduksi adalah untuk dikonsumsi. Adapun sebagian
barang yang dijual bukan untuk dijadikan sebagai modal, tetapi untuk memenuhi
kebutuhan lain.
Sementara, pada masyarakat modern sistem redistribusi tersebut
digantikan oleh ekonomi pasar yang ditandai dengan “pasar yang mengatur dirinya
sendiri”. Uang menggantikan mekanisme barter karena aktivitas ekonomi yang
semakin kompleks. Selain itu, tenaga kerja dan tanah dipandang sebagai komoditi
rekaan (commodity fiction) yang dapat diperjualbelikan di pasar seperti produk
yang lainnya.
Kesimpulanya, pada masyarakat pra-kapitalis, harga dibentuk oleh
keterlekatannya dengan institusi lain seperti otoritas politik dan tradisi.
Sementara pada masyarakat modern, pasar mengatur dirinya sendiri dimana harga
dibentuk oleh permintaan dan penawaran.
Dalam konsep keterlekatan ini, tindakan ekonomi didasarkan pada
tujuan rasional untuk mencapai tujuan serta dituntun oleh aturan yang berupa
nilai, norma, adat istiadat dan tata kelakuan yang ada dalam masyarakat.
Misalnya, seorang pedagang muslim pada dasarnya bekerja untuk memperoleh
keuntungan. Namun tidak semua barang atau jasa bisa diperjual-belikan olehnya.
Hal tersebut disebabkan oleh adanya aturan dalam agama Islam yang tidak
memperbolehkan umatnya untuk memperjualbelikan barang haram. Contoh lainnya
adalah transaksi peminjaman uang yang berbunga, bagi seorang muslim yang taat tindakan
ekonomi tersebut merupakan tindakan yang harus dihindari. Karena, transaksi
riba ini merupakan sesuatu yang telah diharamkan baik dalam Al-qur’an maupun
dalam Al- Hadits.
Dari contoh tersebut kita dapat melihat bagaimana keterlekatan
antara agama dan ekonomi terjadi di dalam masyarakat. Seorang penganut agama
yang taat akan mempertimbangakan segala tindakan ekonominya apakah bertentangan
dengan ajaran agama atau tidak. Jika tidak bertentangan, maka ia akan
melakukannya. Begitu pula sebaliknya, jika tindakan tersebut dianggap
bertentangan maka ia akan berusaha untuk tidak melakukannya.[13]
D. Korelasi Ekonomi dan Agama dalam
Islam
Agama sebagai sistem keyakinan dan
praktek mengatur manusia dalam upayanya untuk memenuhi segala sesuatu yang
menjadi kebutuhan dan keinginannya. Agama
menyediakan suatu tatan sosial bagi masyarakat yang menjaga keselarasan dan
keserasian sosial. Tindakan-tindakan ekonomi yang dianggap akan merugikan suatu
pihak dilarang oleh agama demi terciptanya suatu keseimbangan dalam masyarakat.
Dalam agama Islam terdapat berbagai
hukum yang mengatur kehidupan ekonomi masyarakat muslim. Sama seperti halnya
dalam agama Kristen Protestan, dalam Islam pun terdapat etika sosial yang
melandasi aktivitas ekonomi umat muslim. Etika sosial ini di dasarkan pada
firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29 yang berbunyi : “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah
Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa [4]: 9)
Berdasarkan ayat tersebut, dapat
kita ketahui bahwa pada dasarnya kehidupan ekonomi umat muslim mengutamakan
nilai-nilai “keadilan” bagi semua pihak. Suatu tindakan ekonomi yang merugikan
salah satu pihak akan mengakibatkan hilangnya keselarasan sosial dalam
masyarakat sehingga perlu dicegah melalui mekanisme yang terkandung dalam
konsep ‘halal’ dan ‘haram’.
Beberapa bentuk aktivitas ekonomi
yang diatur dalam Islam diantaranta adalah mengenai zakat, muamalah dan faraid.
Zakat adalah sejumlah harta dalam
kadar tertentu yang harus diberikan kepada sekelompok orang yang dianggap
pantas menerimanya berdasarkan ketentuan dan syarat tertentu. Secara sosiologis
zakat berfungsi sebagai alat pemersatu sosial yang merekatkan hubungan antara
masyarakat kelas ekonomi atas dengan kelas ekonomi bawah. Zakat bukan merupakan
sesuatu yang bersifat kariratif seperti shadaqah, tetapi imperatif yang
diwajibkan baik secara teologis maupun politis. Zakat bahkan dapat dituntut
oleh kelas miskin atau dipaksakan oleh negara. [14]
Permasalahan sosial seperti
ketimpangan ekonomi anatara kelas atas dengan kelas bawah tidak diatasi dengan
jalan penumpasan oleh satu kelas terhadap kelas lainnya melainkan dengan jalan
ta’awun (saling tolong-menolong). Sekelompok orang yang dianggap sukses secara
finansial dianjurkan untuk menolong saudaranya yang kekurangan sehingga
terciptalah suatu proses simbiosis mutualisme dalam masyarakat. Hal tersebut
berda dengan konsep yang diajukan oleh Karl Marx yang menganjurkan penumpasan
salah satu kelas (Borjuis) oleh kelas yang lainnya (ploretar) atau sering
disebut dengan “revolusi komunis”.
Islam adalah seperangkat kredo yang
diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama yang telah sempurna. Maka oleh
sebab itu, Islam mempunyai formulasi tersebdiri dalam tata pengaturan konflik
atau permasalahan sosial yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Episentrum
serta pengaturan tata dan konflik sosial tidak semata-mata dilakukan untuk
tujuan kemanusiaaan melainkan untuk menegakan keadilan serta untuk mendapatkan
keridhaan dari Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai transedental inilah yang
membuat garis pembatas yang tegas anatara tata pengaturan konflik dan permasalahan
sosial di dalam agama Islam dengan pandangan sekuler.
Muamalah merupakan tukar menukar
barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan seperti
jual beli, sewa-menyewa, upah- menupah, pinjam-meminjam, bercocok tanam,
berserikat dan usahalainnya. [15]
Dalam jual beli Islam mempunyai
ketentuan barang yang diperjualbelikan harus suci (bukan barang haram),
bermanfaat, dapat diserahterimakan, diketahui, milik sendiri atau diwakili dan
tidak menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Kemudian muamalah juga
terdapat aturang mengenai larangan melakukan transaksi ekonomi riba. Islam
mengakui konsep realitas ganda, yaitu sebuah konsep yang memandang bahwa
realitas itu terdiri dari dua jenis, yaitu realitas dunia dan realitas akhirat.
Relaitas dunia adalah realitas empiris dan berada dalam struktur objektif,
sementara realitas akhirat merupakan realitas normatif yang berada dalam
struktur objektif.
Faraid merupakan pembagian harta
pusaka kepada ahli waris berdasar ketentuan yang sudah ditetapkan dalam
Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam Sudut pandang sosiologis, faraid dapat dilihat
sebagai pengalokasian sumberdaya ekonomi terhadap anggota keluarga baik
laki-laki atau pun perempuan. Dalam Agama Islam, hak waris seorang laki-laki
adalah dua kali lipat dari jatah perempuan. Hal tersebut dilakukan dalam Islam
karena laki-laki diwajibkan untuk memberikan nafkah bagi keluarganya sementara
perempuan tidak diwajibkan untuk mencari nafkah, tetapi tidak pula ada aturan
yang melarang perempuan untuk mencari nafkah.[16]
BAB III
KESIMPULAN
Agama diartikan sebagai persepsi dan
keyakinan manusia terkait dengan eksistensinya, alam semesta, dan peran Tuhan
terhadap alam semesta dan kehidupan manusia sehingga membawa kepada pola bahwa
agama yang menentukan perilaku dan tujuan manusia. Ekonomi adalah sebuah bidang kajian tentang pengurusan sumer daya
material individu, masyarakat, dan negara untuk meningkatkan kesejahteraan
hidup manusia.
Agama memberikan pedoman yang
mengatur dan membatasi berbagai tindakan ekonomi yang dianggap baik dan
dianggap buruk oleh ajaran agama. Seorang penganut agama yang taat akan
mempertimbangakan segala tindakan ekonominya apakah bertentangan dengan ajaran
agama atau tidak. Jika tidak bertentangan, maka ia akan melakukannya. Begitu
pula sebaliknya, jika tindakan tersebut dianggap bertentangan maka ia akan
berusaha untuk tidak melakukannya.
Pada dasarnya kehidupan ekonomi umat
muslim mengutamakan nilai-nilai “keadilan” bagi semua pihak. Suatu tindakan
ekonomi yang merugikan salah satu pihak akan mengakibatkan hilangnya
keselarasan sosial dalam masyarakat sehingga perlu dicegah melalui mekanisme
yang terkandung dalam konsep ‘halal’ dan ‘haram’.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Bustanudin. 2006. Agama
dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: Rajagrafindo persada.
Ahmad Saebani Beni. 2012. Pengantar Antropologi. Bandung: Pustaka Setia.
B.
Jauhari
Imam. 2012. Teori Sosial : Proses Islamisasi dalam Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Damsar & Indrayani. 2013. Pengantar
Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana.
Mubaraq Zulfi. 2010. Sosilogi Agama. Malang : UIN Maliki
Pers.
Ritzer George. 2014. Teori Sosiologi : Dari Klasik sampai
Perkembangan Terakhir Posmodern. Jakarta:
Pustaka Pelajar.
Rasjid Sualiman. 2013. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Soekanto Soerjono. 2012. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
http:// Makalah agama dan ekonomi.html.
http://Agama & Ekonomi Studi Etos Kerja dalam Komparasi Perbandingan
Agama _ Wasisto Raharjo Jati - Academia.edu.html.
http:// Keadaan Politik, Sosial,
Ekonomi, dan Agama Kerajaan Sriwijaya.html.
http://www.slideshare.net/trisnaalient/makalah-agama-dan-ekonomi.html.
[1] http://sumber-ilmu-islam.bogspot.com/2014/12/makalah-tentang-agama-dan-ekonomi.html.
Diakses tanggal 07 september 2015.
[4] George Ritzer, Teori Sosiologi :
Dari Klasik sampai Perkembangan Terakhir Posmodern, (Jakarta: Pustaka Pelajat,
2014), hlm.169
[5] Beni Ahmad Saebani, Pengantar
Antropologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 239
[6] Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu
Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 173
[7] Bustanudin
Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta:
Rajagrafindo persada, 2006),hlm.1.
[8] http:// Makalah agama dan
ekonomi.html.diakses/07/10/2015.
[9] http://Agama
& Ekonomi Studi Etos Kerja dalam
Komparasi Perbandingan Agama _ Wasisto Raharjo Jati - Academia.edu.html.
[10] http:// Makalah agama dan ekonomi.html.diakses/07/10/2015.
[11] http://
Keadaan Politik, Sosial, Ekonomi, dan Agama Kerajaan
Sriwijaya.html.diakses/09/10/2015.
[13] Damsar & Indrayani, Pengantar Sosiologi
Ekonomi, (Jakarta: Kencana, 2013), Cet. 3.hlm.139.
[14] Imam B. Jauhari. Teori Sosial :
Proses Islamisasi dalam Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),
hlm. 79-80
[15] H. Sualiman Rasjid, Fiqih Islam,
(Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2013) hlm.278
[16] Imam B.
Jauhari. Teori Sosial : Proses Islamisasi dalam Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar