Kamis, 10 Desember 2015

sosiologi agama agama dan ekonomi



MAKALAH
AGAMA DAN EKONOMI”
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Sosiologi Agama”
Dosen Pembimbing :
Lilik Rofiqoh, S.Hum.,MA
Disusun Oleh :.
1.     Ana Mira kunita             (1733143008)
2.     Ike Nurjanah                  (1733143022)
3.     Meyvi Alfita                    (1733143038)
4.     Nayla Mariatul Ulfa         (1733143052)
5.     Syafi’ah Wulan S.             (1733143070)

SEMESTER III
TASAWUF PSIKOTERAPI
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB dan DAKWAH
IAIN TULUNGAGUNG 2014-2015


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, bahwa hanya dengan petunjuk dan hidayah Allah SWT penulisan makalah ini dapat terselesaikan dan sampai dihadapan para pembaca yang berbahagia. Semoga kiranya bermanfaat yang sebesar-besarnya dan memberikan sumbangan yang berarti bagi pendidikan pada masa sekarang dan yang akan datang.
Dengan terselesaikannya pembuatan makalah ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Bapak Dr.Maftukhin, M.Ag, selaku Rektor IAIN Tulungagung.
2.      Lilik Rofiqoh,S.Hum.,MA Selaku Dosen Pengampu mata kuliah Sosiologi Agama yang membimbing dan memberi pengarahan kepada kami.
3.      Admisi Pendidikan selaku tenaga kerja perpustakaan yang telah memberi izin untuk meminjamkan buku-buku perpustakaan.
4.      Serta semua pihak yang berpartisipasi untuk meyelesaikan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa apa yang disajikan didalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, dengan segala kerendahan hati penyusun mengharap kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya dengan syukur alhamdulillah atas terselesaikannnya makalah ini, diiringi do’a semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Tulungagung, 09 Oktober 2015


       Penulis







DAFTAR ISI

Cover ..........................................................................................................  1
Kata Pengantar ...........................................................................................  2
Daftar Isi .....................................................................................................  3


BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang ................................................................................  4
B.     Rumusan Masalah ...........................................................................  4
C.     Tujuan Pembahasan ........................................................................  4

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Agama dan Ekonomi ....................................................  5
B.     Korelasi Agama dan Ekonomi ........................................................  5
C.     Pandangan para Tokoh Sosiologi ....................................................  8
D.    Korelasi Agama dan Ekonomi dalam Islam ...................................  14

BAB III KESIMPULAN

A.    Kesimpulan ....................................................................................  15
 Daftar Pustaka ....................................................................................  16








BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Agama adalah seperangkat nilai dan norma yang tersusun dalam sebuah system kepercayaan yang mengatur bagaimana cara manusia berhubungan dengan tuhan dan berhubungan dengan sesamanya. Setiap system kepercayaan mempunyai cara-cara tertentu yang mengatur manusia berhubungan dengan tuhannya yang dimanifestasikan dalam berbagai ritual peribadatan. Nilai normative agama mengatur bagaimana cara seorang individu dan masyarakat pada setiap sendi kehidupan. Salah satu dari sendi kehidupan social manusia yang turut serta diatur oleh agama adalah kehidupan ekonomi masyarakat.
Ekonomi sendiri merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya yang menyangkut usaha pembuatan keputusan, pelaksanaan, dan pengalokasian sumber daya yang ada. Berdasarkan paparan tersebut penulis ingin mendalami lebih lanjut materi mengenai ”Agama dan Ekonomi”.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian agama dan ekonomi?
2.      Bagaimana korelasi antara agama dan ekonomi?
3.      Bagaimana pandangan dari para tokoh sosiologi mengenai agama dan ekonomi?
4.      Bagaimana korelasi agama dan ekonomi dalam islam?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui pengertian agama dan ekonomi.
2.      Mengetahui korelasi antara agama dan ekonomi.
3.      Mengetahui pandangan para tokoh sosiologi mengenai agama dan ekonomi.
4.      Mengetahui korelasi agama dan ekonomi dalam islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Agama dan Ekonomi
Menurut KBBI agama adalah system kepercayaan kepada Tuhan. Dalam dictionary of religion disebutkan bahwa agama berasal dari Bahasa sansekerta yang berarti tradisi. Dalam Bahasa arab agama biasa disebut dengan ad-din. Secara umum agama diartikan sebagai persepsi dan keyakinan manusia terkait dengan eksistensinya, alam semesta, dan peran Tuhan terhadap alam semesta dan kehidupan manusia sehingga membawa kepada pola bahwa agama yang menentukan perilaku dan tujuan manusia.[1]
Secara Bahasa (Etimologi) istilah ekonomi berasal dari Bahasa Yunani yaitu oikosnamos atau oikonomia yang artinya menejemen urusan rumah tangga, khususnya penyediaan dan atministrasi pendapatan. Secara istilah (terminologi), menurut Albert L. Meyers, ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempersoalkan kebutuhan dan pemuasan kebutuhan manusia. Secara umum, ekonomi adalah sebuah bidang kajian tentang pengurusan sumer daya material individu, masyarakat, dan negara untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.[2]
B.     Korelasi Agama dan Ekonomi
Menurut Johnstone agama adalah sistem keyakinan dan praktek sebagai sarana bagi sekelompok orang untuk menafsirkan dan menanggapi apa yang mereka rasakan sebagai pengada adikodrati (supranatural) dan kudus. Agama sebagai sistem keyakinan berfungsi sebagai sumber pedoman bagi masyarakat dalam berpikir dan menafsirkan segala sesuatu. Sementara itu, agama sebagai sistem praktek berfungsi sebagai petunjuk bagi para penganutnya dalam bertindak atau menanggapi berbagai stimulus yang dihadapinya. Keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati ini menjadi suatu tendensi yang mengarahkan manusia pada tatanan sosial masyarakat yang harmonik.[3]
Sementara itu menurut Emile Durkheim agama adalah sistem simbol- simbol yang melaluinya masyarakat menjadi sadar atas dirinya. Durkheim berargumen bahwa agama secara simbolis mewujudkan masyarakat itu sendiri. Durkheim memandang kepercayaan agamis sebagai representasi-representasi yang mengunkapkan hakikat hal-hal yang sakral dan relasi-relasi yang mereka pertahankan baik dengan satu sama lain maupun dengan duniawi. Menurutnya agama dalam suatu masyarakat dalam suatu masyarakat nonmodern adalah suatu nurani kolektif yang serba meliputi.[4]
Fungsi utama agama menurut William Haviland adalah untuk mengurangi kegelisahan dan memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri serta memelihara keadaan manusia agar siap mengahdapi realitas.[5]
Agama merupakan salah satu dari lembaga sosial yang ada dalam masyarakat yang terdiri dari organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku manusia yang diwujudkan melalui berbagai aktivitas sosial dan peribadatan. Agama sebagai lembaga sosial pada dasarnya merupaka himpunan norma-norma segala tingkata yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Selain itu juga, agama sebagai lembaga sosial memiliki simbol-simbol, peralatan, tradisi dan tujuan-tujuan tertentu.
Menurut Soerjono Soekanto, lembaga kemasyarakatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia pada dasarnya mempunyai beberapa funsi, yaitu : 1. Sebagai pedoman pada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap; 2. Menjaga keutuhan masyarakat; 3. Memberikan pegangan kepada anggota masyarakat untuk mengadakan pengendalian sosial (social control).[6]
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Agama mengatur pada setiap sendi kehupan masyarakat, termasuk salah satunya adalah kehidupan ekonomi. Ekonomi sendiri merupakan suatu usaha dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaannya yang berhubungan dengan pengalokasian sumberdaya rumah tangga yang terbatas diantara berbagai anggotanya dengan mempertimbangkan, kemampuan, usaha dan keinginan masing-masing. Dalam hal ini, agama memberikan pedoman yang mengatur dan membatasi berbagai tindakan ekonomi yang dianggap baik dan dianggap buruk oleh ajaran agama.[7]
Agama menetapkan tindakan-tindakan ekonomi apa saja yang boleh dilakukan dan tindakan-tindakan ekonomi yang tidak boleh dilakukan oleh para penganutnya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam agama islam, tindakan sosial ekonomi seperti “jual-beli” merupakan suatu hal yang diperbolehkan, tetapi disisi lain agama Islam juga memberikan batasan mengenai bentuk-bentuk jual-beli yang diperbolehkan. Islam melarang bentuk jual beli barang haram seperti minuman keras dan narkoba. Artinya, dalam menjalankan akitivitas ekonomi setiap pemeluk agama selalu dianjurkan untuk memperhatikan norma halal dan haram yang terdapat dalam agama tersebut. Oleh karen itu, terdapat korelasi yang kuat antara agama sebagai lembaga sosial dan ekonomi sebagai wujud aktivitas sosial masyarakat.
Dalam sistem mata pencaharian pada masyarakat primitif, biasanya aktivitas-aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh mereka selalu disisipi dengan ritual-ritual tertentu seperti upacara ritual setelah panen. Mereka memberikan sesajen kepada roh-roh nenek moyang dan berdoa atas hasil panen yang telah didapatkan. Dalam mencari hasil hutan juga tidak boleh melanggar pantangan (taboo) karena tanaman dan binatang dipercayai punya penghuni, tenaga atau penunggu gaib (dinamisme, animisme).[8]
C.    Pandangan Para Tokoh
1.      Karl Marx
Dalam kajiannya mengenai agama dan ekonomi, Marx memandang bahwa agama berfungsi sebagai alat eksploitasi kapitalis. Menurutnya kapitalisme telah menyebabkan manusia sebagai pekerja tidak lagi mempunyai kontrol atas potensi yang terkandung dalam kerja mereka.
 Agama yang ada saat itu dipandang tidak mampu memberikan solusi atas ketertindasan kaum proletar. Agama justru meninabobokan mereka dari perjuangan kelas melalui dogma-dogma yang dikemukakan oleh para pemuka agama. Tekanan agama tradisional pada dunia transenden, non-material dan harapan-harapan kehidupan setelah kematian membantu mengalihkan perhatian orang dari penderitaan dan kesulitan nyata dalam kehidupan mereka.
Marx melihat agama sebagai sebuah ideologi dimana ia menempatkannya dalam konteks sosial-historis. Ia menganalisis antara kondisi-kondisi kehidupan (sub-ekonomi masyarakat) dan gagasan-gagasan (superstruktur normatif masyarakat) pada dasar-dasar kontinuitas perubaha melalui perkembangan sejarah masyarakat. Sebagai sebuah ideologi, agama berfungsi sebagai seperangkat sanksi moral, khayal, penghibur atas kondisi ketidakadilan, penyelubung kenyataan dan pembenar ketidaksetaraan.[9]
Marx menganggap agama sebagai perwujudan dari rasa ketertindasan dan pembenaran atas tatanan sosial yang ada. Sehingga pada akhirnya Marx sampai pada satu kesimpulan yang menyatakan bahwa “agama merupakan candu bagi masyarakat”.
Marx menekankan bahwa agama sebenarnya muncul dari kondisi material tertentu bukan dari wahyu atau gagasan kreatif yang muncul begitu saja karena ilham illahiyah tanpa adanya pergulatan dialektik antara kesadaran dengan lingkungan. Ia melihat bahwa agama berlaku atas masyarakat bagaikan candu yang meringankan penderitaan, tetapi tidak menghilangkan keadaan yang memunculkan penderitaan tersebut. menurutnya agama semata-mata bersifat menenangkan orang dan memungkinkan orang-orang yang berada dibawah pengaruh agama tersebut menerima begitu saja keadaan sosial karena perhatian mereka dialihkan kepada harapan akan kebahagiaan kehidupan di kemudian hari dimana semua penderitaan dan kesengsaraan akan lenyap untuk selama-lamanya (alam akhirat).
Hubugan erat antara kondisi-kondisi kehidupan material dan suprastruktur sulit untuk diidentifikasi adalah karena ideologi-ideologi itu memberikan ketimpangan dan kekukurangan dalam kehidupan material. Akibatnya, meskipun ideologi itu mencerminkan dan hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat, cerminan itu seringkali menyimpang atau dalam istilah Marx sebagai “suatu kesadaran-dunia yang terbalik”[10]
Saat ideologi-ideologi tersebut menjadi kesadaran subjektif seseorang akan menyebabkan individu tersebut tidak mampu menyadari kepentingan mereka yang sesungguhnya. Contohnya seseorang buruh lebih menunjuk sebab kemiskinan yang dideritanya karena nasib atau taqdir dibanding karena praktik penghisapan para kapitalis.
Kaum kapitalis menguasai alat produksi dan mengeksploitasi kaum buruh melalui mekanisme kerja. Ketidakmerataan pengalokasian sumberdaya ekonomi ini mengakibatkan kesenjangan antar kelas dan kemiskinan pada kaum buruh. Agama yang hadir dalam kehidupan masyarakat saat itu dianggap tidak memberikan solusi yang tepat dalam mengurangi penderitaan buruh. Agama justru memberikan ilusi romantika ukhrowi sebagai kebahagiaan sejati di kehidupan yang selanjutnya. Kaum proletar lebih memandang kemiskinannya sebagai takdir dari pada sebagai kejahatan struktural yang diakibatkan oleh para kapitalis. Oleh karena itulah Marx memandang agama sebagai candu rakyat.[11]
2.      Max Weber
Pemikiran Max Weber mengenai agama dan ekonomi tertuang dalam salah satu karyanya yang terkenal yaitu The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism. Dalam bukunya tersebut ia mengungkapkan hubungan elective afinity, yaitu hubungan yang memiliki konsistensi logis dan pengaruh motivasionalyang bersifat mendukung secara timbal balik anatar etika protestan dan semangat kapitalisme pada awal perkembangan kapitalisme modern. Menurutnya terdapat suatu etika dalam agama Protestan yang menjadi stimulus bagi pertumbuhan sistem ekonomi kapitalis modern dalam tahap pembentukannya.
Weber menentang pandangan Marx yang melihat agama sebagai lembaga bayangan yang selalu mencerminkan kekuasaan dan kepentingan kelas yang berkuasa. Ia berpendapat bahwa kebangkitan kapitalisme didukunga oleh sikap yang ditekankan oleh Protestanisme asketik. Jadi bukan, (kekuatan) ekonomi yang menentukan agama, tetapi agamalah yang menentukan arah perkembangan ekonomi.
Weber melihat kondisi sosial para penganut agama Protestan seperti Calvinisme dan Metodisme yang mempercayai konsep predistinasi. Menurut konsep ini Allah telah menentukan keselamatan abadi seseorang diakhirat yang ditandai dengan kesuksesan dan kesejateraan yang dihasilkan oleh pekerjaan. Mereka memandang pekerjaan sebagai suatu panggilan suci (beruf atau calling). Membuang-buang waktu merupakan dosa pertama dan secara prinsip dosa yang paling mematikan. Ajaran-ajaran agama tersebut pada akhirnya melahirkan pola motivasi yang memiliki konsistensi logis bagi semangat kapitalisme modern yang sedang berkembang seperti akuntansi rasional, hukum rasional dan teknik rasional.[12]
3.      Karl Polanyi
Dalam esainya yang berjudul The Economy as an Instituted Process, Karl Polanyi mengajukan sebuah gagasan tentang embeddedness (keterlekatan). Menurutnya, kehidupan ekonomi manusia terlekat dan terjaring dalam institusi- institusi sosial lain seperti institusi politik dan agama. Granovetter, mendefinisikan keterlekatan ini sebagai tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung diantara para aktor.
Menurut Polanyi, memasukan institusi non-ekonomi kedalam ekonomi manusia merupakan suatu hal yang penting. Menurutnya agama dan pemerintahan mungkin menjadi penting terhadap struktur dan berfungsinya ekonomi sebagai institusi moneter. Menurutnya ekonomi masyarakat pra industri melekat pada institusi sosial, politik, dan agama. Kehidupan ekonomi dalam mayarakat pra-kapitalis diatur keluarga subsitensi, resiprositas, dan redistribusi. Keluarga merupakan suatu sistem dimana barang-barang diproduksi dan disimpan dikalangan anggota kelompok untuk pemakaian mereka sendiri (self sufficient system).15 Barang yang diproduksi adalah untuk dikonsumsi. Adapun sebagian barang yang dijual bukan untuk dijadikan sebagai modal, tetapi untuk memenuhi kebutuhan lain.
Sementara, pada masyarakat modern sistem redistribusi tersebut digantikan oleh ekonomi pasar yang ditandai dengan “pasar yang mengatur dirinya sendiri”. Uang menggantikan mekanisme barter karena aktivitas ekonomi yang semakin kompleks. Selain itu, tenaga kerja dan tanah dipandang sebagai komoditi rekaan (commodity fiction) yang dapat diperjualbelikan di pasar seperti produk yang lainnya.
Kesimpulanya, pada masyarakat pra-kapitalis, harga dibentuk oleh keterlekatannya dengan institusi lain seperti otoritas politik dan tradisi. Sementara pada masyarakat modern, pasar mengatur dirinya sendiri dimana harga dibentuk oleh permintaan dan penawaran.
Dalam konsep keterlekatan ini, tindakan ekonomi didasarkan pada tujuan rasional untuk mencapai tujuan serta dituntun oleh aturan yang berupa nilai, norma, adat istiadat dan tata kelakuan yang ada dalam masyarakat. Misalnya, seorang pedagang muslim pada dasarnya bekerja untuk memperoleh keuntungan. Namun tidak semua barang atau jasa bisa diperjual-belikan olehnya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya aturan dalam agama Islam yang tidak memperbolehkan umatnya untuk memperjualbelikan barang haram. Contoh lainnya adalah transaksi peminjaman uang yang berbunga, bagi seorang muslim yang taat tindakan ekonomi tersebut merupakan tindakan yang harus dihindari. Karena, transaksi riba ini merupakan sesuatu yang telah diharamkan baik dalam Al-qur’an maupun dalam Al- Hadits.
Dari contoh tersebut kita dapat melihat bagaimana keterlekatan antara agama dan ekonomi terjadi di dalam masyarakat. Seorang penganut agama yang taat akan mempertimbangakan segala tindakan ekonominya apakah bertentangan dengan ajaran agama atau tidak. Jika tidak bertentangan, maka ia akan melakukannya. Begitu pula sebaliknya, jika tindakan tersebut dianggap bertentangan maka ia akan berusaha untuk tidak melakukannya.[13]
D.    Korelasi Ekonomi dan Agama dalam Islam
Agama sebagai sistem keyakinan dan praktek mengatur manusia dalam upayanya untuk memenuhi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dan  keinginannya. Agama menyediakan suatu tatan sosial bagi masyarakat yang menjaga keselarasan dan keserasian sosial. Tindakan-tindakan ekonomi yang dianggap akan merugikan suatu pihak dilarang oleh agama demi terciptanya suatu keseimbangan dalam masyarakat.
Dalam agama Islam terdapat berbagai hukum yang mengatur kehidupan ekonomi masyarakat muslim. Sama seperti halnya dalam agama Kristen Protestan, dalam Islam pun terdapat etika sosial yang melandasi aktivitas ekonomi umat muslim. Etika sosial ini di dasarkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29 yang berbunyi : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa [4]: 9)
Berdasarkan ayat tersebut, dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya kehidupan ekonomi umat muslim mengutamakan nilai-nilai “keadilan” bagi semua pihak. Suatu tindakan ekonomi yang merugikan salah satu pihak akan mengakibatkan hilangnya keselarasan sosial dalam masyarakat sehingga perlu dicegah melalui mekanisme yang terkandung dalam konsep ‘halal’ dan ‘haram’.
Beberapa bentuk aktivitas ekonomi yang diatur dalam Islam diantaranta adalah mengenai zakat, muamalah dan faraid.
Zakat adalah sejumlah harta dalam kadar tertentu yang harus diberikan kepada sekelompok orang yang dianggap pantas menerimanya berdasarkan ketentuan dan syarat tertentu. Secara sosiologis zakat berfungsi sebagai alat pemersatu sosial yang merekatkan hubungan antara masyarakat kelas ekonomi atas dengan kelas ekonomi bawah. Zakat bukan merupakan sesuatu yang bersifat kariratif seperti shadaqah, tetapi imperatif yang diwajibkan baik secara teologis maupun politis. Zakat bahkan dapat dituntut oleh kelas miskin atau dipaksakan oleh negara. [14]
Permasalahan sosial seperti ketimpangan ekonomi anatara kelas atas dengan kelas bawah tidak diatasi dengan jalan penumpasan oleh satu kelas terhadap kelas lainnya melainkan dengan jalan ta’awun (saling tolong-menolong). Sekelompok orang yang dianggap sukses secara finansial dianjurkan untuk menolong saudaranya yang kekurangan sehingga terciptalah suatu proses simbiosis mutualisme dalam masyarakat. Hal tersebut berda dengan konsep yang diajukan oleh Karl Marx yang menganjurkan penumpasan salah satu kelas (Borjuis) oleh kelas yang lainnya (ploretar) atau sering disebut dengan “revolusi komunis”.
Islam adalah seperangkat kredo yang diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama yang telah sempurna. Maka oleh sebab itu, Islam mempunyai formulasi tersebdiri dalam tata pengaturan konflik atau permasalahan sosial yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Episentrum serta pengaturan tata dan konflik sosial tidak semata-mata dilakukan untuk tujuan kemanusiaaan melainkan untuk menegakan keadilan serta untuk mendapatkan keridhaan dari Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai transedental inilah yang membuat garis pembatas yang tegas anatara tata pengaturan konflik dan permasalahan sosial di dalam agama Islam dengan pandangan sekuler.
Muamalah merupakan tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan seperti jual beli, sewa-menyewa, upah- menupah, pinjam-meminjam, bercocok tanam, berserikat dan usahalainnya. [15]
Dalam jual beli Islam mempunyai ketentuan barang yang diperjualbelikan harus suci (bukan barang haram), bermanfaat, dapat diserahterimakan, diketahui, milik sendiri atau diwakili dan tidak menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Kemudian muamalah juga terdapat aturang mengenai larangan melakukan transaksi ekonomi riba. Islam mengakui konsep realitas ganda, yaitu sebuah konsep yang memandang bahwa realitas itu terdiri dari dua jenis, yaitu realitas dunia dan realitas akhirat. Relaitas dunia adalah realitas empiris dan berada dalam struktur objektif, sementara realitas akhirat merupakan realitas normatif yang berada dalam struktur objektif.
Faraid merupakan pembagian harta pusaka kepada ahli waris berdasar ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam Sudut pandang sosiologis, faraid dapat dilihat sebagai pengalokasian sumberdaya ekonomi terhadap anggota keluarga baik laki-laki atau pun perempuan. Dalam Agama Islam, hak waris seorang laki-laki adalah dua kali lipat dari jatah perempuan. Hal tersebut dilakukan dalam Islam karena laki-laki diwajibkan untuk memberikan nafkah bagi keluarganya sementara perempuan tidak diwajibkan untuk mencari nafkah, tetapi tidak pula ada aturan yang melarang perempuan untuk mencari nafkah.[16] 



BAB III
KESIMPULAN

Agama diartikan sebagai persepsi dan keyakinan manusia terkait dengan eksistensinya, alam semesta, dan peran Tuhan terhadap alam semesta dan kehidupan manusia sehingga membawa kepada pola bahwa agama yang menentukan perilaku dan tujuan manusia. Ekonomi adalah sebuah bidang kajian tentang pengurusan sumer daya material individu, masyarakat, dan negara untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.
Agama memberikan pedoman yang mengatur dan membatasi berbagai tindakan ekonomi yang dianggap baik dan dianggap buruk oleh ajaran agama. Seorang penganut agama yang taat akan mempertimbangakan segala tindakan ekonominya apakah bertentangan dengan ajaran agama atau tidak. Jika tidak bertentangan, maka ia akan melakukannya. Begitu pula sebaliknya, jika tindakan tersebut dianggap bertentangan maka ia akan berusaha untuk tidak melakukannya.
Pada dasarnya kehidupan ekonomi umat muslim mengutamakan nilai-nilai “keadilan” bagi semua pihak. Suatu tindakan ekonomi yang merugikan salah satu pihak akan mengakibatkan hilangnya keselarasan sosial dalam masyarakat sehingga perlu dicegah melalui mekanisme yang terkandung dalam konsep ‘halal’ dan ‘haram’.













DAFTAR PUSTAKA

Agus Bustanudin. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: Rajagrafindo persada.
Ahmad Saebani Beni. 2012. Pengantar Antropologi. Bandung: Pustaka Setia.
B.         Jauhari Imam. 2012. Teori Sosial : Proses Islamisasi dalam Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Damsar & Indrayani. 2013. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana.
Mubaraq Zulfi. 2010. Sosilogi Agama. Malang : UIN Maliki Pers.
Ritzer George. 2014. Teori Sosiologi : Dari Klasik sampai Perkembangan Terakhir Posmodern. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Rasjid Sualiman. 2013. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Soekanto Soerjono. 2012. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
http:// Makalah agama dan ekonomi.html.
http://Agama & Ekonomi  Studi Etos Kerja dalam Komparasi Perbandingan Agama _ Wasisto Raharjo Jati - Academia.edu.html.
http:// Keadaan Politik, Sosial, Ekonomi, dan Agama Kerajaan Sriwijaya.html.
http://www.slideshare.net/trisnaalient/makalah-agama-dan-ekonomi.html.




[2] Dr. H. Zulfi Mubaraq, Sosilogi Agama, (Malang : UIN Maliki Pers, 2010), hlm 79.
[3] http:// Makalah agama dan ekonomi.html.diakses/07/10/2015.
[4] George Ritzer, Teori Sosiologi : Dari Klasik sampai Perkembangan Terakhir Posmodern, (Jakarta: Pustaka Pelajat, 2014), hlm.169
[5] Beni Ahmad Saebani, Pengantar Antropologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 239
[6] Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 173
[7] Bustanudin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: Rajagrafindo persada, 2006),hlm.1.
[8] http:// Makalah agama dan ekonomi.html.diakses/07/10/2015.

[9] http://Agama & Ekonomi  Studi Etos Kerja dalam Komparasi Perbandingan Agama _ Wasisto Raharjo Jati - Academia.edu.html.
[10] http:// Makalah agama dan ekonomi.html.diakses/07/10/2015.
[11] http:// Keadaan Politik, Sosial, Ekonomi, dan Agama Kerajaan Sriwijaya.html.diakses/09/10/2015.
[12] http://www.slideshare.net/trisnaalient/makalah-agama-dan-ekonomi.html.diakses/09/10/2015.
[13] Damsar & Indrayani, Pengantar Sosiologi Ekonomi, (Jakarta: Kencana, 2013), Cet. 3.hlm.139.
[14] Imam B. Jauhari. Teori Sosial : Proses Islamisasi dalam Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 79-80
[15] H. Sualiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2013) hlm.278
[16] Imam B. Jauhari. Teori Sosial : Proses Islamisasi dalam Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar