BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian An-Nafs
Istilah nafs yang dimaksud di sini adalah
istilah bahasa Arab yang dipakai dalam al-Qur’an. Secara bahasa dalam kamus
al-Munjid, nafs (jama’nya
nufus dan
anfus)
berarti ruh (roh) dan ‘ain (diri sendiri).[1]
Sedangkan dalam kamus al-
Munawir disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan
nufus)
itu berarti roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), al-sahsh
(orang), al-sahsh alinsan (diri
orang), al-dzat atau al’ain
(diri sendiri).[2]
Sedangkan menurut Dawan Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an
disebutkan bahwa dalam al-Qur’an nafs yang jama’nya anfus dan
nufus diartikan
jiwa (soul),
pribadi (person),
diri (self atau
selves),
hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), juga dipakai untuk beberapa
arti lainnya.[3]
Kata Nasf digunakan juga untuk menunjuk kepada “diri Tuhan” seperti Firman
Allah dalam Q.S Al-An’am ayat 19.
Dalam kitab Lisan al-Arab, Ibnu Manzur menjelaskan bahwa kata nafs dalam
bahasa Arab digunakan dalam dua pengertian yakni nafs dalam pengertian nyawa, dan nafs yang
mengandung makna keseluruhan dari sesuatu dan hakikatnya menunjuk kepada diri
pribadi. Setiap manusia memiliki dua nafs, nafs akal
dan nafs ruh.
Hilangnya nafs akal menyebabkan manusia tidak dapat berpikir namun ia tetap
hidup, ini terlihat ketika manusia dalam keadaan tidur. Sedangkan hilangnya
nafs ruh, menyebabkan hilangnya kehidupan.[4]
B.
Ayat-ayat Al-Qur’an tentang An-Nafs
Di dalam Al-Qur’an tidak sedikit surat maupun ayat yang menyebutkan
lafadz An-Nafs. Keberagaman ayat tersebut menjadikan tafsir setiap lafadz
An-Nafs berbeda-beda pada setiap surat maupun ayat nya. Tafsir tersebut
menjadikan kita sebagai hamba Allah dituntut untuk mampu berfikir dan membedakan
setiap tafsir-tafsirnya dalam surat atau ayat tersebut.
Dalam
Al-Qur’an ayat yang menyebutkan lafad An-Nafs diantaranya adalah:
1.
Q.S
Ali ‘Imran 145.
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا
مُؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ
ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا ۚ وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
Artinya: “Sesuatu
yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan
yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya
Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala
akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Penafsiran: “(Setiap diri tidaklah akan mati kecuali dengan izin Allah) artinya
dengan kada daripada-Nya (sebagai ketentuan) mashdar artinya ketentuan yang
telah ditetapkan oleh Allah (yang telah ditetapkan waktunya) hingga tidak dapat
dimajukan atau diundurkan. Lalu kenapa kamu menderita kekalahan, padahal
kekalahan itu tidak dapat menolak kematian dan ketabahan takkan dapat
mengakhiri kehidupan. (Barang siapa yang menghendaki) dengan amalannya (pahala
dunia) artinya balasannya (Kami berikan itu kepadanya) artinya bagiannya di
dunia tetapi di akhirat ia tidak mendapat apa-apa. (Dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat Kami berikan pula kepadanya) artinya pahalanya (dan
Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur).”[5]
Munasabah Q.S Ali ‘Imran 145 :
Sebelumnya telah dibahas tentang perintah untuk mencintai jihad di jalan Allah,
berusaha meraih kemenagan, penguatan jiwa, dan kabar gembira untuk orang
beriman. Kemudian, dalam ayat-ayat ini dibahas tentang jalan menuju kebahagiaan
diakhirat dengan jihad dan sabar, dan jalan menuju kebahagiaan di dunia dengan
akhlaq yang sesuai dengan syariat, mematuhi perintah Nabi SAW, berkorban,
berbuat kebaikan, adil, dan selau berusaha dalam posisi benar.
2.
Q.S
Al-Maidah ayat 32. Dalam ayat ini An-Nafs diartikan sebagai totalitas manusia.
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ
أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ
فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا
النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ
كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ (٣٢)
Artinya: Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Penafsiran:
“(Oleh karena itu) artinya karena
perbuatan Qabil itu tadi (Kami tetapkan bagi Bani Israel bahwa sesungguhnya)
innahuu disebut dhamir sya`n (siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena
manusia lainnya) yang dibunuhnya (atau) bukan karena (kerusakan) yang
diperbuatnya (di muka bumi) berupa kekafiran, perzinaan atau perampokan dan
sebagainya (maka seolah-olah dia telah membunuh manusia kesemuanya. Sebaliknya
siapa yang memelihara kehidupannya) artinya tidak hendak membunuhnya (maka
seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.) Kata Ibnu Abbas,
"Ini dilihat dari segi melanggar kesuciannya dan dari segi memelihara
serta menjaganya." (dan sesungguhnya telah datang kepada mereka itu) yakni
kepada orang-orang Israel (rasul-rasul Kami membawa keterangan-keterangan yang
jelas) maksudnya mukjizat-mukjizat (kemudian banyak di antara mereka sesudah
itu melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi) dengan kekafiran, melakukan
pembunuhan dan lain-lain”.
Munasabah Q.S Al-Maidah ayat 32:
Iri,dengki, egois, dan mengikuti hawa nafsu selalu berakhir dengan penyesalan
dan kerugian. Seprti yang terjadi dalam kisah Qabil dan Habil. Kisah ini
terkait dengan pengingkaran kaum Yahudi yang dijelaskan dalam ayat sebelumnya,
sebagai peringatan kepada mereka.
3.
Q.S Ar-Ra’d ayat 11.
Dalam ayat ini An Nafs diartikan sebagai apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku.
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ
يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ
حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۗ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ
سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Artinya:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikuti bergiliran, di
muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mereka mengubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan
terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak
ada pelindung bagai mereka selain Dia. ”
Penafsiran:
“(Baginya) manusia (ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran)
para malaikat yang bertugas mengawasinya (di muka) di hadapannya (dan di
belakangnya) dari belakangnya (mereka menjaganya atas perintah Allah)
berdasarkan perintah Allah, dari gangguan jin dan makhluk-makhluk yang lainnya.
(Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum) artinya Dia tidak
mencabut dari mereka nikmat-Nya (sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri) dari keadaan yang baik dengan melakukan perbuatan durhaka.
(Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum) yakni menimpakan
azab (maka tak ada yang dapat menolaknya) dari siksaan-siksaan tersebut dan
pula dari hal-hal lainnya yang telah dipastikan-Nya (dan sekali-kali tak ada
bagi mereka)” bagi orang-orang yang telah dikehendaki keburukan oleh
Allah (selain Dia) selain Allah sendiri (seorang penolong pun) yang dapat
mencegah datangnya azab Allah terhadap mereka. Huruf min di sini adalah
zaidah.”[6]
Munasabah Q.S Ar-Ra’d ayat 11 : Pada ayat sebelumnya disebutkan .keingkaran orang
musrik terhadap Hari Kebangkitan, kemudian dalam ayat ini Allah menunjukan
pengetahuan-Nya yang luas meliputi segala sesuatu, seperti hal gaib, setiap
yang tampak dan tersembunyi, janin dalam perut, sampai tujuan orang musrik
meminta ditunjukan tanda yang nyata.[7]
C. Hikmah Yang Dapat diambil
Dari keterangan ayat pada subbab sebelumnya, ada beberapa hikmah yang bisa kita
ambil sebagai bahan pelajaran hidup manusia. Di subbab ini kami akan mencoba
untuk menguraikan hikmah-hikmah tersebut sesuai ayat di atas.
1. Hikmah yang dapat diambil dari Q.S Ali ‘Imran ayat 145 diantaranya:
·
Sahnya (diterima atau
ditolak) suatu pekerjaan tergantung pada niatnya.
·
Kematian adalah sesuatu
yang pasti terjadi, tidak seseorangpun yang bisa memperlambat atau mempercepat.
·
Siapa saja yang beramal
karena ingin dipuji, maka yang didapatkannya adalah dunia.
·
Setiap manusia memiliki
jalan masing-masing[8]
2. Hikmah yang dapat diambil dari Q.S Al-ma’idah ayat 32 diantaranya:
·
Larangan membunuh di
tujukan kepada semua orang. Namun, disampaikan secara kusus kepada bangsa
yahudi, sebagai peringtan tentang kejahatan mereka yang sering membunuh para
nabi. Selain itu, merupakan sindiran atas sifat mereka yang haus darah untuk
membunuh Nabi SAW dan para sahabatnya.
·
Isyarat atas keburukan
dan kejahatan Bani Israil. Mereka adalah kaum pembohong dan sombong hingga saat
ini.
·
Huruf Inna dan lam
pada ayat ini berfungsi untuk menegaskan kebenaran atas kabar yang
disampaikan bahwa kaum Yahudi benar-benar melampaui batas dalam membuat
kerusakan.
·
Bani Israil tidak
menerima ajaran yang dibawa oleh nabi-nabinya. Bahkan, kebanyakan mereka
bersikap syirik dan melampaui batas.
3. Hikmah yang dapat diambil dari Q.S ar-ra’d ayat 11 diantaranya:
·
Bila Allah menghendaki
keburukan pada seseorang maka tak seorangpun yang mampu mencegahnya.
·
Kondisi yang lebih baik
akan didapatkan oleh mereka yang mau mengubah kondisi hidupnya.
·
Allah tidak akan
mengubah nikmat-Nya dengan mengurangi atau menghilangkan dari seseorang,
kecuali karena kemaksiatan atau perbuatannya yang merusak
D. Interpretasi
Nafs dalam al-Qur’an dan pandangan para sufi
Menurut Al-Qusyairi dalam risalahnya
dinyatakan bahwa, “Nafs dalam
pengertian kaum sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela atau perilaku
bukuk.” Pegertian kaum sufi ini sama dengan kamus besar Bahasa Indonesia, yang
antara lain menjelaskan arti kata nafsu sebagia “dorongan hati yang kuat untuk
berbuat kurang baik.”[9]
Para ahli tasawuf membagi perkembangan jiwa menjadi tiga tingkatan:
·
Tingkat
pertama manusia cenderung untuk hanya memenuhi naluri rendahnya yang disebut
dengan jiwa hayawaniyah/ kebinatangan (nafs ammarah) berdasar pada surat Yusuf
(12) ayat 53.
·
Tingkat
kedua, manusia sudah mulai untuk menyadari kesalahan dan dosanya, ketika telah
berkenalan dengan petunjuk Ilahi, di sini telah terjadi apa yang disebutnya
kebangkitan rohani dalam diri manusia. Pada waktu itu manusia telah memasuki
jiwa kemanusiaan, disebut dengan jiwa kemanusiaan (nafs lawwamah) berdasar pada surat
al-Qayimah (73) ayat 2.
·
Tingkat
ketiga adalah jiwa ketuhanan yang telah masuk dalam kepribadian manusia,
disebut jiwa ketuhanan (nafs muthmainnah) berdasar pada surat al-Infithar (89)
ayat 27-30. Tingkatan jiwa ini hampir sama dengan konsep psikoanalisanya Freud
yaitu Id, Ego, dan Superego.[10]
Quraish Shihab cenderung memahami nafs sebagai sesuatu yang merupakan
hasil perpaduan jasmani dan ruhani manusia. Perpaduan yang kemudian menjadikan
yang bersangkutan mengenal perasaan, emosi, dan pengetahuan serta dikenal dan
dibedakan dengan manusia-manusia lainnya.[11]
Kata nafs dalam surat al-Qaaf (50) ayat
16, mengandung makna hati sebagai potensi internal pada diri manusia yang aktif
membisikkan (mutawaswisu bihi nafsuhu/apa yang
dibisikkan oleh hatinya). Nafs dalam pengertian ini
diasumsikan sebagai gerak imanen (gerak dalam) yang bersifat qalbiyah
(ke-hati-an), dan sebagai pusat grativasi manusia, pusat komando
yang mengatur seluruh potensi kemanusiaan16.
Nafs ini berisi impuls-impuls yang berupa rasa sedih, rasa benci, rasa iri
hati, yang terkumpul dalam hati. Nafs diciptakan oleh Allah dalam keadaan
sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan
keburukan.[12]
Dalam surat al-Baqarah (2) ayat 284, Allah memerintahkan agar
manusia selalu mengawasi, meneliti, dan merasakan apa yang ada dalam nafs (hatinya).
Apabila itu sesuai dengan perintah-Nya dan tidak berlawanan dengan
larangan-larangan-Nya, maka manusia disuruh memelihara dan menghidup-suburkan nafs itu,
sehingga nafs itu
dapat diaktualisasikan amal perbuatan yang baik, begitu juga sebaliknya. Oleh
karena itu sisi dalam manusia (nafs; hati) inilah yang oleh al-Qur’an
diperintahkan untuk selalu diperhatikan.[13]
Fazlur Rahman menjelaskan mengenai nafs dalam al-Qur’an, kata ini
dalam filsafat dan tasawuf Islam telah menjadi konsep tentang jiwa dengan
pengertian bahwa ia adalah substansi yang terpisah dari jasmani. Jiwa yang
dikatakan juga sebagai diri atau batin manusia memang dinyatakan oleh al-Qur’an
dengan realitas pada manusia, tetapi ia tidak terpisah secara eklusif dari
raga. Dengan kata lain, menurut Fazlur Rahman, al-Qur’an tidak mendukung
doktrin dualisme yang radikal antara jiwa dan raga. Menurut penafsirannya nafs yang
sering diterjemahkan menjadi jiwa (soul), sebenarnya berarti pribadi,
perasaan, atau aku. Adapun predikat yang beberapa kali disebut dalam al-Qur’an
hanyalah dan seharusnya dipahami sebagai kaidah-kaidah, aspek-aspek,
watak-watak, dan kecenderungan-kecenderungan yang ada pada pribadi manusia. Hal
ini seharusnya dipahami sebagai aspek mental, sebagai lawan dari aspek phisik,
tetapi tidak sebagai substansi yang terpisah.[14]
Sedangkan diskursus menganai jiwa oleh para pemikir muslim seperti
al-Ghazali yang mengkaji konsep nafs secara mendalam. Menurut
al-Ghazali nafs itu
mempunyai dua arti, arti nafs yang pertama adalah nafsu-nafsu rendah yang
kaitannya dengan raga dan kejiwaan, seperti dorongan agresif (al-ghadlab),
dan dorongan erotik (al-syahwat), yang keduanya dimiliki
oleh hewan dan manusia.
Adapun nafs yang kedua adalah nafs muthmainah yang lembut, halus,
suci dan tenang yang diundang oleh Tuhan sendiri dengan lembutnya untuk masuk
ke dalam surga-Nya (QS:al-Fajr;27-28).[15]
Adapun Shafi’i membagai perkembangan nafs menjadi 9 taraf perkembangan,
yaitu: 1). nafs nabatiyah (jiwa
tumbuhan); 2). nafs alhayawaniyah (jiwa
kebinatangan); 3). nafs al-mulhimah (jiwa
yang terilhami); 6). nafs al-muthmainnah (jiwa
yang tenang tentram); 7). nafs al-radliyah (jiwa yang
ridla terhadap Allah); 8). Nafs al-mardliyah (jiwa
yang mendapat ridla dari Allah); 9). nafs al-kamilah (jiwa yang
sempurna).
Daftar Pustaka
Dawam
M. Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996),hlm.250
Dazuki
Hafidz, dkk., al-Qur’an al-Karim & Tafsirannya, Jilid I. (Semarang: PT.Citra Effhar, 1993), hlm.497
Hatta
ahmad dkk.maghfirah pustaka (jakarta timur.2012)hlm
Jalaluddin
asy-syuyuthi, jalaluddin muhammad ibn ahmad al-mahalliy.tafsir jalalain,(Tasikmalaya:Pesantren
persatuan Islam,2010).Al-maidah 21-23
Quraish
M. Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1996), 285-286.
Rahman
Fazlur, dalam M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia.
Warson
Ahmad Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka4
Progressif, 1984),hlm.1545.
.
http://
KONSEP NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24
http://
KONSEP NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24
http://
KONSEP NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24
[1] http:// KONSEP
NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24
[2] Ahmad Warson
Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka4 Progressif,
1984),hlm.1545.
[3] M. Dawam
Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996),hlm.250.
[4] http:// KONSEP
NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24
[7][7]
Ahmad hatta dkk, The Great Al-Qur’an:maghfirah pustaka (jakarta
timur.2012) hlm 1048
[8] Ahmad
hatta dkk, The Great Al-Qur’an:maghfirah pustaka (jakarta timur.2012)hlm.
287
[9] M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1996), 285-286.
[10] http:// KONSEP
NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24
[11] M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Amanah, (Jakarta: Pustaka Karim, 1992),hlm. 196
[12] http:// KONSEP
NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24
[13] Hafidz Dasuki,
dkk., al-Qur’an al-Karim & Tafsirannya, Jilid I. (Semarang: PT.Citra Effhar, 1993), hlm.497
[14] Fazlur Rahman,
dalam M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia.
[15] http:// KONSEP
NAFS DALAM AL-QUR’AN « Sains-Inreligion.html/29/09/2015/diunduh.20:24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar